Dalam halaman ini
penulis akan mencoba menelaah sejumlah konsep dan teori tentang tindak tutur (speech act) dalam sebuah percakapan (utterance) menurut beberapa ahli bahasa.
Yang mana dalam studi sosiolinguistik seringkali dijelaskan, bahwa bahasa
merupakan sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen
yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Di sisi lain bahasa juga bersifat
dinamis, yang berarti bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan
perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada
tataran bahasa, seperti: fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan
leksikon.
Bahasa juga merupakan
alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Sebagai alat komunikasi
yang paling utama, bahasa mampu mengungkapkan beberapa informasi tentang
perasaan, pikiran, gagasan, maksud dan emosi secara langsung. Sehingga bahasa
mampu mengungkapkan suatu makna bahkan bisa berarti melakukan sebuah tindakan,
tindakan itu kemudian dikenal dengan sebutan tindak tutur (speech act). Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula
diperkenalkan oleh J. L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard,
pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan
oleh J. O. Urmson (1965) dengan judul How
to do Thing with Word? tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam
studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of
Language.
Sebagaimana dijelaskan
oleh Austin bahwa bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui
pembedaan antara kalimat pernyataan (constative)
yang mendeskripsikan atau melaporkan peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan di
dunia. Sedangkan kalimat perlakuan (performative)
tidak ‘mendeskripsikan’ atau ‘melaporkan’ atau ‘menyatakan’ apapun. Kemudian
pengujaran kalimat merupakan bagian dari tindakan yang biasanya tidak
dideskripsikan sebagai tindakan untuk melakukan sesuatu. (1965:5)
Louise Cummings (2005:6)
mendeskripsikan tentang pembedaan ujaran konstatif dan performatif di atas
dengan menggunakan contoh kalimat:
(1)
She promised to do her homework
(2)
I promise to be home early
Kalimat (1) menunjukan
ujaran konstatif, karena ujaran tersebut merupakan laporan tentang suatu
peristiwa yang telah terjadi dan jika dia melakukan pekerjaan itu, maka ujaran
ini termasuk ujaran konstatif yang benar. Contoh kalimat (2) menunjukan ujaran
performatif, karena pengujaran yang sebenarnya merupakan tindakan berjanji. Dalam
pengujaran itu, ujaran performatif ini tidak benar atau salah.
Pembedaan antara ujaran
konstatif dan performatif yang dikemukakan oleh Austin kemudian diganti oleh
pengklasifikasian rangkap tiga dalam beberapa tindakan. Yakni dalam bertutur,
seseorang melakukan tindak lokusi, tindak ilokusi dan bahkan tindak perlokusi.
Lebih detailnya Austin dalam Levinson (1983:236) menjelaskan tentang tiga
konsepsi dari tindakan secara langsung ditunjukkan sebagai berikut:
(i) Locutionary act: the utterance of
a sentence with determinate sense and reference
(ii)
Illocutionary
act:
the making of a statement, offer, promise, etc. in uttering a sentence, by
virtue of the conventional ‘force’ associated with it (or with its explicit
performative paraphrase)
(iii)
Perlocutionary
act:
the bringing about of effects on the audience by means of uttering the
sentences, such effects on the audience by means of uttering the sentence, such
effects being special to the circumstances of utterance.
Dalam (i) tindak lukosi
semata-mata adalah tindakan berbicara atau bertindak tutur, yaitu tindakan
mengucapkan sesuatu dengan kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu sendiri
(secara harfiah) dan makna sintaksis kalimat itu menurut kaidah sintaksisnya.
(ii) tindak ilokusioner merupakan tindakan melakukan sesuatu. Di sini kita
berbicara tentang maksud, fungsi, atau daya ujaran yang bersangkutan, dan
bertanya “Untuk apa ujaran itu dilakukan?” (iii) tindak perlokusioner mengacu
pada efek yang dihasilkan penutur dengan mengatakan sesuatu. Seperti efek bagi
pendengar oleh makna ujaran kalimat, kemudian menjadi lebih khusus dalam mengungkapkan
keadaan.
Klasifikasi untuk
membedakan tindak tutur secara umum dibagi ke dalam dua bagian, yakni
penggolongan berdasarkan fungsi dan penggolongan berdasarkan konteks
situasinya. (Searle, 1986).
Berdasarkan
fungsinya
- Tindak tutur deklaratif/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal atau mengubah keadaan lewat ujaran. Penutur memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ujaran tertentu dalam konteks yang sesuai. Contoh dalam proses pengumuman, perkawinan, penjatuhan vonis, dan lain sebagainya.
- Tindak tutur Representatif, tindak tutur ini sering juga disebut atau bersifat asertif yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran (yakin) atas apa yang diujarkannya. Yang termasuk ke dalam tindak tutur ini biasanya pernyataan fakta, kesimpulan dan deskripsi mengenai suatu hal.
- Tindak tutur ekspresif, tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur ini merupakan pengungkapan perasaan (ekspresi) apa yang dirasakan penutur baik berupa pernyataan psikologis, permintaan maaf dan ungkapan terimakasih.
- Tindak tutur direktif/impositif, merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan tersebut yang diinginkan oleh sipenutur seperti melakukan perintah, permintaan, atau saran yang bersifat negatif maupun positif.
- Tindak tutur komisif, merupakan tindak tutur yang menerangkan komitmen seorang penutur untuk melakukan sesuatu hal yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Contoh penutur akan melakukan sebuah perjanjian, penolakan, perundingan, dan lain sebagainya.
Berdasarkan
Konteks Situasinya
Tindak tutur menurut konteks dan
situasinya tebagi ke dalam dua jenis yaitu tindak tutur langsung dan tindak
tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung merupakan tindak tutur yang langsung diucapkan penutur sesuai dengan isi dan tujuan
ujarannya. Tindak tutur tidak langsung dilakukan penutur saat dirinya tidak
mengeluarkan ujaran yang secara eksplisit mencerminkan apa tujuannya seperti
memerintah sesuatu (kalimat imperatif) tetapi menggunakan kalimat introgatif.
References
Austin, J. L. 1965. How to do Things with Word. Oxford: Oxford University Press.
Cummings, Louise. 2005. Pragmatics: A multidisciplinary Perspective. New Jersey: Edinburgh
University Press.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University
Press.
nice. thanks
BalasHapusApa yang dimaksud dengan Collaborative performative,thanks
BalasHapus