Powered By Blogger

Rabu, 12 Juni 2013

Speech Act Theory (teori tindak tutur)



Dalam halaman ini penulis akan mencoba menelaah sejumlah konsep dan teori tentang tindak tutur (speech act) dalam sebuah percakapan (utterance) menurut beberapa ahli bahasa. Yang mana dalam studi sosiolinguistik seringkali dijelaskan, bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Di sisi lain bahasa juga bersifat dinamis, yang berarti bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran bahasa, seperti: fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikon.
Bahasa juga merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Sebagai alat komunikasi yang paling utama, bahasa mampu mengungkapkan beberapa informasi tentang perasaan, pikiran, gagasan, maksud dan emosi secara langsung. Sehingga bahasa mampu mengungkapkan suatu makna bahkan bisa berarti melakukan sebuah tindakan, tindakan itu kemudian dikenal dengan sebutan tindak tutur (speech act). Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J. O. Urmson (1965) dengan judul How to do Thing with Word? tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language.
Sebagaimana dijelaskan oleh Austin bahwa bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui pembedaan antara kalimat pernyataan (constative) yang mendeskripsikan atau melaporkan peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan di dunia. Sedangkan kalimat perlakuan (performative) tidak ‘mendeskripsikan’ atau ‘melaporkan’ atau ‘menyatakan’ apapun. Kemudian pengujaran kalimat merupakan bagian dari tindakan yang biasanya tidak dideskripsikan sebagai tindakan untuk melakukan sesuatu. (1965:5)
Louise Cummings (2005:6) mendeskripsikan tentang pembedaan ujaran konstatif dan performatif di atas dengan menggunakan contoh kalimat:
(1)   She promised to do her homework
(2)   I promise to be home early
Kalimat (1) menunjukan ujaran konstatif, karena ujaran tersebut merupakan laporan tentang suatu peristiwa yang telah terjadi dan jika dia melakukan pekerjaan itu, maka ujaran ini termasuk ujaran konstatif yang benar. Contoh kalimat (2) menunjukan ujaran performatif, karena pengujaran yang sebenarnya merupakan tindakan berjanji. Dalam pengujaran itu, ujaran performatif ini tidak benar atau salah.
Pembedaan antara ujaran konstatif dan performatif yang dikemukakan oleh Austin kemudian diganti oleh pengklasifikasian rangkap tiga dalam beberapa tindakan. Yakni dalam bertutur, seseorang melakukan tindak lokusi, tindak ilokusi dan bahkan tindak perlokusi. Lebih detailnya Austin dalam Levinson (1983:236) menjelaskan tentang tiga konsepsi dari tindakan secara langsung ditunjukkan sebagai berikut:
(i)    Locutionary act: the utterance of a sentence with determinate sense and reference
(ii)   Illocutionary act: the making of a statement, offer, promise, etc. in uttering a sentence, by virtue of the conventional ‘force’ associated with it (or with its explicit performative paraphrase)
(iii) Perlocutionary act: the bringing about of effects on the audience by means of uttering the sentences, such effects on the audience by means of uttering the sentence, such effects being special to the circumstances of utterance.
Dalam (i) tindak lukosi semata-mata adalah tindakan berbicara atau bertindak tutur, yaitu tindakan mengucapkan sesuatu dengan kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu sendiri (secara harfiah) dan makna sintaksis kalimat itu menurut kaidah sintaksisnya. (ii) tindak ilokusioner merupakan tindakan melakukan sesuatu. Di sini kita berbicara tentang maksud, fungsi, atau daya ujaran yang bersangkutan, dan bertanya “Untuk apa ujaran itu dilakukan?” (iii) tindak perlokusioner mengacu pada efek yang dihasilkan penutur dengan mengatakan sesuatu. Seperti efek bagi pendengar oleh makna ujaran kalimat, kemudian menjadi lebih khusus dalam mengungkapkan keadaan.
Klasifikasi untuk membedakan tindak tutur secara umum dibagi ke dalam dua bagian, yakni penggolongan berdasarkan fungsi dan penggolongan berdasarkan konteks situasinya. (Searle, 1986).
Berdasarkan fungsinya

  1. Tindak tutur deklaratif/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal atau mengubah keadaan lewat ujaran. Penutur memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ujaran tertentu dalam konteks yang sesuai. Contoh dalam proses pengumuman, perkawinan, penjatuhan vonis, dan lain sebagainya.
  2. Tindak tutur Representatif, tindak tutur ini sering juga disebut atau bersifat asertif yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran (yakin) atas apa yang diujarkannya. Yang termasuk ke dalam tindak tutur ini biasanya pernyataan fakta, kesimpulan dan deskripsi mengenai suatu hal.
  3. Tindak tutur ekspresif, tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur ini merupakan pengungkapan perasaan (ekspresi) apa yang dirasakan penutur baik berupa pernyataan psikologis, permintaan maaf dan ungkapan terimakasih.
  4. Tindak tutur direktif/impositif, merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan tersebut yang diinginkan oleh sipenutur seperti melakukan perintah, permintaan, atau saran yang bersifat negatif maupun positif.
  5. Tindak tutur komisif, merupakan tindak tutur yang menerangkan komitmen seorang penutur untuk melakukan sesuatu hal yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Contoh penutur akan melakukan sebuah perjanjian, penolakan, perundingan, dan lain sebagainya.

Berdasarkan Konteks Situasinya
Tindak tutur menurut konteks dan situasinya tebagi ke dalam dua jenis yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung merupakan  tindak tutur yang langsung diucapkan  penutur sesuai dengan isi dan tujuan ujarannya. Tindak tutur tidak langsung dilakukan penutur saat dirinya tidak mengeluarkan ujaran yang secara eksplisit mencerminkan apa tujuannya seperti memerintah sesuatu (kalimat imperatif) tetapi menggunakan kalimat introgatif.
References
Austin, J. L. 1965. How to do Things with Word. Oxford: Oxford University Press.
Cummings, Louise. 2005. Pragmatics: A multidisciplinary Perspective. New Jersey: Edinburgh University Press.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Searle, John R. 1986. Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.

2 komentar: